Penulis: Iin Meriza, MA
Kasih sayang akan anak merupakan fitrah yang dikarunia Allah kepada setiap orang tua. Anugerah kasih sayang berjalan seiring dengan kebutuhan anak terhadap orang tua. Secara lahir, anak tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang tuanya dalam memenuhi segala kebutuhan materi.Begitu juga dengan perhatian dan kasih sayang orang tua sebagai kebutuhan batin anak, Banu Garawiyan menyebutkan, “kasih sayang merupakan makanan yang dapat menyehatkan jiwa anak”. Hal ini dapat dipahami bahwa, anak tidak akan tenang jiwanya tanpa kasih sayang orang tua.
Kebutuhan akan kasih sayang bukan hanya kebutuhan temporer (ketika anak masih kecil), tetapi merupakan kebutuhan yang bersifat kontinu (sepanjang hayat). Sayangnya, mimpi akan abadinya kasih sayang tersebut baru terbaca setelah jalinan kasih sayang memudar antara anak dan orang tua. Kita sebagai orang tua barang kali tidak pernah menyadari, sejak kapan kita tidak lagi memberi hadiah ciuman ketika anak berprilaku baik, sejak kapan kita tidak lagi memanggilnya dengan panggilan “sayang”, “jantung hati ibu/jagoan ayah”, sejak kapan pula kita tidak lagi memeluknya lagi ketika hatinya pilu? Diskripsi kasih sayang tersebut telah memudar seiring dengan pertumbuhan anak menuju dewasa.
Masalahnya, apakah dengan bertambahnya umur anak, ia tidak membutuhkan lagi kasih sayang? Apakah kemesraan antara anak dan orang tua hanya merupakan hak anak yang masih anak-anak? Apakah anak yang mulai beranjak besar tidak berhak lagi mendapat kemesraan dan kehangatan pelukan orang tua. Kalau kita mau jujur, baik anak maupun orang tua, keduanya sangat merindukan kehangatan yang pernah terjalin antara mereka (sewaktu sang anak masih kecil). Maka layaklah dikatakan bahwa kasih sayang dibutuhkan anak sejak ia masih berada dalam kandungan hingga ia dewasa, bahkan hingga ia lanjut usia sekalipun.
Mengapa kasih sayang memudar?
Hal itu terjadi karena kita sebagai orang tua pernah berhenti mencium mereka, pernah berhenti memanggil mereka dengan panggilan kesayangan dan pernah melepaskan mereka dari pelukan, serta tidak pernah mau memeluk lagi. Seiring dengan perjalanan waktu, pertumbuhan dan kemandirian anak, kita sebagai orang tuapun sudah terbiasa dengan kondisi “jauh” dari anak. Sementara anakpun berusaha mandiri dan akhirnya terbiasa dengan kesendiriannya. Tanpa disadari, sejak saat itu kita sudah membangun dinding pemisah antara kita dan anak. Akhirnya keinginan untuk merangkul kembali anak ke dalam pelukan menjadi harapan belaka.
Dengan bertambahnya usia anak, maka bertambah luas lingkungannya, serta bertambah kompleks pula masalah yang dihadapi. Dalam kondisi tersebut, idealnya anak mendapat arahan, bimbingan dan dukungan emosional dari orang tua. Namun karena lemahnya ikatan emosinal antara anak dan orang tua maka anak bersikap tertutup pada orang tuanya. Dalam mengahadapi masalah, anak merasa “sendiri” padahal ia berada di sisi orang tuanya. tidak jarang anak terperosok ke arah yang tidak baik, walhasil anak mengalami stress. Dalam kondisi tersebut di atas, tutur kata sayang pada dasarnya sudah kurang efektif karena anak akan mengartikan bahwa kasih sayang tersebut adalah senjata orang tuanya agar dapat menguasai dirinya.
Mengingat jalinan kasih sayang merupakan kebutuhan anak dan orang tua bersama-sama sepanjang masa, seyogianya kita mempertahankan kasih sayang yang sudah terbina agar tetap awet hingga anak menjadi dewasa. Jangan pernah melepas “pelukan” anak, karena semakin jauh anak beranjak dari umurnya maka semakin sulit pula meraih kembali “pelukan”nya.
Fitrah kasih sayang mestinya dipertahankan agar tetap berkelanjutan sebagai media penyejuk hati dan media pendidikan Islam dalam keluarga. Jalinan kasih sayang antara anak dan orang tua di sepanjang hayat akan memberikan kepuasan batin kedua belah pihak sehingga dapat membantu proses pendidikan sesuai dengan tuntunan Islam.
*Penulis adalah Dosen Tetap pada Program Studi Pendidikan Agama Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh