Pendidikan Ilmu Komunikasi; Pabrik Buruh?

Fiandy Mauliansyah, S. I. Kom,. MA*

Tulisan berjudul “Pendidikan Ilmu Komunikasi: Kini dan Nanti” yang dimuat di Lentara edisi III Mei-Juni 2015, yang ditulis saudara Yuhdi Fahrimal, M.I.Kom, sepertinya menarik untuk diulas kembali. Dalam tulisan tersebut, Yuhdi Fahrimal memiliki gagasan bahwa pendidikan Ilmu Komunikasi telah memberikan banyak sumbangsih dalam upaya menciptakan para sarjana komunikasi untuk berkecimpung dalam dunia kerja. Kehadiran jurusan jurnalistik, hubungan masyarakat dan periklanan dalam pendidikan Ilmu Komunikasi membuka peluang bagi banyak sarjana ilmu komunikasi memperoleh dunia kerja selepas mereka kuliah di Ilmu Komunikasi. Yang tujuannya adalah untuk menintegrasikan pendidikan tinggi dalam kancah struktur pasar yang ada.

Walaupun harus diakui bahwa, suka atau tidak suka, kegiatan pendidikan tinggi, khususnya ilmu komunikasi saat ini telah mengarah atau berkembang ke arah sebuah industri jasa. Instrumen-instrumen tersebut juga bisa digunakan oleh sebuah perguruan tinggi komunikasi untuk menyiasati sinyal-sinyal kebutuhan pasar akan sarjana ilmu komunikasi. Namun masalahnya adalah apakah sinyal yang ditangkap oleh pendidikan tersebut merupakan sinyal yang benar-benar mencerminkan kebutuhan pasar atau semata sinyal yang bersifat “semu”, yakni sama sekali tidak mencerminkan perubahan struktur pasar industri media yang ada. Pada titik ini, kita harus lebih teliti lagi dalam melihat bagaimana seharusnya arah ilmu komunikasi ke depannya.

Tulisan ini tidak lain ingin berposisi sebagai bentuk kritik dari gagasan yang telah diutarakan oleh Yuhdi Fahrimal dan juga sebagai bahan alternative dalam melihat persoalan fenomena yang hadir dalam pendidikan Ilmu Komunikasi itu sendiri.

Krisis Epistemologi

Komunikasi adalah salah satu ilmu yang dalam dua dasawarsa ini begitu meningkat popularitasnya di Indonesia. Indikatornya adalah makin banyak program-program pendidikan yang menawarkan ilmu komunikasi, termasuk kajian-kajian yang dianggap sebagai terapan; Jurnalisme, Komunikasi Massa, Hubungan Masyarakat, Manajemen Komunikasi dst, diselenggarakan oleh berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.

Namun, sayangnya, kesemuanya itu ternyata tidak selaras dengan perkembangan epistemologi ilmu komunikasi itu sendiri. Sekarang ini epistemologi Ilmu komunikasi masih terlihat “seragam”. Ilmu komunikasi terlalu identik dengan Jurnalistik dan Kehumasan. Bidang tersebut hanya bersifat terapan yang justru kurang mengakomodir kajian teoritik keilmuan, yang semestinya memiliki horizon luas dan berketerkaitan dengan cabang epistemologi lain.

Konsekuensi dari kehadiran program-program studi “terapan” semacam itu, maka Ilmu komunikasi akan condong memihak pada pasar dan menjadi pelayan industri media massa yang meledak pasca tumbangnya orde baru, ketimbang berposisi sebagai ilmu sosial yang memiliki kajian epistemologi yang ketat. Ilmu komunikasi pada akhirnya menjadi penyedia calon-calon buruh terlatih dalam industri media massa, seperti tenaga Hubungan Masyarakat, Jurnalis, dsb.

Semestinya pengkajian ilmu komunikasi tidak mengarah kepada suatu economic determinism seperti yang diutarakan saudara Yudhi, dimana semua kebijakan dan strategi komunikasi seolah-olah didasarkan pada motif ekonomi semata. Pendidikan ilmu komunikasi bukan sekedar instrument pasar. Di samping respons dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasar, institusi pendidikan tinggi ilmu komunikasi juga harus memberikan respon kritis terhadap sisi “gelap” dari dinamika perubahan struktur pasar yang ada. Untuk hal ini saya ingin memberikan gagasan bahwa karena kajian Jurnalisme dan Kehumasan meniscayakan melaju bersama dengan arus capital, maka perlu dipikirkan untuk mengadopsi berbagai varian baru dari teori-teori yang bersifat emansipatoris, seperti berbagai konsep critical public relation, yang sekarang ini sedang diuji di Eropa serta langkah untuk memulai kajian epistemologis dari varian teori yang sebelumnya janggal dalam kajian ilmu komunikasi, seperti Marxisme maupun Pasca Kolonialisme. Dengan demikian, pendidikan ilmu komunikasi tidak dilabeli sebagai pabrik buruh. Wallahu ‘alam bishawab!

* Penulis adalah dosen Prodi Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh

Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor slot gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor Slot Gacor
slot gacor https://disdukcapil.salatiga.go.id/ngacor/ slot gacor https://ak.poliupg.ac.id/ngacor/ situs toto