Meulaboh – Sejumlah ilmuan dunia dengan beragam latar belakang keilmuan, membahas pemikiran Islam klasik pada 1st Dirundeng Internasional Conference on Islamic Studies (DICIS) 2020.
Konferensi internasional yang diadakan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Teungku Dirundeng Meulaboh pada 25-26 November 2020 itu, mengangkat tema “Turats: Reconstruction Knowledge and Islamic Education in Disruption Era.”
Menghadirkan sejumlah pembicara dari kalangan akademisi dan praktisi yang berasal dari dalam dan luar negeri, seperti Dirjen Pendis Kemenag RI, M. Ali Ramdhani, Guru Besar Filologi FAH UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta/Pengampu NGARIKSA, Oman Fathurrahman.
Kepala Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan Kemenag RI, M. Arskal Salim GP. Direktur CSRC/Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Idris Hemay, Amanda Tho Seeth dari Centre Asie du Sud-Est (CASE) Paris, dan Annabel Teh Gallop Lead Curator, Southeast Asia.
Ini merupakan konferensi internasional pertama yang diadakan STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh secara virtual melalui aplikasi zoom. Diikuti 500 partisipan dan 70 presenter dari berbagai kalangan, dalam dan luar negeri.
Ketua STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Inayatillah mengatakan, studi tentang sumber-sumber ilmu umat Islam harus mendapatkan perhatian khusus dari kalangan ilmuan Islam. Sehinnga peradaban umat masa lalu dapat dikaji Kembali dengan pedoman Al-Quran dan Sunnah.
Menurutnya, kajian-kajian tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai landasan kokoh dan kuat dalam perkembangan pendidikan Islam sekarang dan di masa mendatang, serta dapat diadopsi dalam perkembangan ilmu kontemporer.
Inayatillah menjelaskan, peradaban umat Islam telah mewariskan pemikirannya yang tertuang dalam manuskrip. Pemikiran yang berasal dari para ulama tersebut, kemudian dijadikan sumber pengetahuan.
Ia meyampaikan, untuk melestarikan warisan dan nilai-nilai budaya, umat Islam harus terus mengeksploitasi identitas diri yang otentik dan melestarikan, serta mempelajari warisan masa lalu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menghidupkan kembali studi turats.
“Turats merupakan segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu. Seperti karya Ibnu Khaldun yang menjadi dasar perkembangan ilmu sosial,” ujarnya.
Inayatillah menuturkan, perlu adanya pengkajian ulang untuk menghidupkan kembali teori-teori pemikiran Islam klasik, yang kemudian digabungkan dengan ilmu pengetahuan kontemporer. Hasil pengkajian tersebut, akan melahirkan kerangka untuk menyelaraskan turats sebagai modernitas dalam pembaruan pemahaman Islam.
“Sehingga tradisi dan modernisas dapat dipadukan untuk memajukan pendidikan Islam yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan bersaing di era digital ini,” terangnya.
Inayatillah mengatakan, modernisasi perkembangan global dan kamajuan teknologi saat ini menjadi satu tantangan besar umat Islam. Jika tidak mendapat perhatian secara sirius, maka hal itu akan menjadi ancaman bagi umat Islam, terutama terhadap tradisi dan akhlak yang selama ini dijaga.
“Namun jika kita menolak arus modernisasi, maka umat Islam akan tertinggal jauh dari peradaban dunia. Jadi tradisi dan modernisasi adalah dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain,” jelasnya.
Inayatillah berharap, 1st DICIS 2020 dapat menjadi wadah bagi ilmuan dunia untuk bertemu dan berbagi informasi tentang persoalan Pendidikan dan pengetahuan Islam.
“Semoga kita semua dapat meningkan kesadaran, pengalaman dan keahlian,” ucapnya.
Peneliti dari Centre Asie du Sud-Est (CASE), Amanda Tho Seeth menyampaikan, pelestarian manuskrip sangat penting dilakukan. Bahkan ia bersama para peneliti sumber sejarah lainnya yang tergabung dalam DREAMSEA, telah melakukan digitalisasi terhadap manuskrip-manuskrip yang terancam punah di Asia Tenggara.
“Karena iklim Asia Tenggara yang lembab, banyak manuskrip dalam kondisi yang memprihatinkan dan keberadaannya di masa depan terancam,” ungkapnya.
Menurutnya, tujuan digitalisasi manuskrip untuk melindungi keragaman budaya di Asia Tenggara. Bahkan, akademisi dan masyarakat luas banyak yang tidak tahu tentang manuskrip di Asia Tenggara, karena dimiliki dan disimpan secara individu.
Amanda menuturkan, di Indonesia, proyek DREAMSEA telah menyelamatkan dan menyediakan ratusan manuskrip untuk umum. Banyak manuskrip Islam yang disusun dalam aksara Jawi dan menjadi bukti kekayaan sejarah dan budaya Islam lokal di nusantara.
Para peneliti DREAMSEA berduyun-duyun turun ke daerah-daerah terpencil untuk meyakinkan pemilik naskah, agar dapat didokumentasikan dan dikaji dalam bentuk digital. Dengan begitu, naskah manuskrip dapat diakses secara online dalam resolusi tinggi, disertai dengan metadata dan terjemahan parsial ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Amanda mengatakan, manuskrip kuno yang ditemukan itu, dapat menjadi pengetahuan kunci tentang relevansi arah peradaban masyarakat Arab dan Eropa. Di Eropa khususnya, manuskrip-manuskrip tersebut dikembangan lebih lanjut, serta menjadikan rujukan pengetahuan untuk beradaptasi dengan konteks dan tantangan kontemporer.
“Terutama hal yang terkait dengan pemicu pembaharuan Eropa dan kesadarannya yang tertanam dalam nilai pelestarian pengetahuan,” terang Alumni the Northern-German University of Hamburg itu.
Sementara itu, Direktur Pendidikan Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Rohmat Mulyana Sapdi menyampaikan apresiasi terhadap pelaksanaan konferesni internasional pertama STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh.
Sapdi mengatakan, hal itu dapat menjadi tradisi yang bagus untuk mengembangkan STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, sehingga memiliki peluang yang sangat besar untuk melakukan integrasi dan interdisiplin ilmu yang luas.
Menurutnya, aktualisasi turats sebagai khasanah kekayaan umat Islam sangat penting dilakukan, terlebih di era disrupsi dengan beragam tantangan.
“Poin penting dalam hal ini adalah setiap hal yang dilakukan tetap mengikat pada nilai yang diharapkan bisa tercapai,” ujarnya.
Ia berharap, DICIS 2020 dapat memberikan jalan terang bagi perguruan tinggi Islam untuk menggunakan format yang paling tepat dalam perkembangan dunia destruksi.[]