STAIN Meulaboh Bentuk Seuramoe Moderasi Beragama

STAIN Meulaboh- Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Teungku Dirundeng Meulaboh, membentuk Seuramoe Moderasi Beragama, Selasa, 22 September 2020. 

Seuramoe Moderasi Beragama merupakan unit kajian khusus yang disiapkan untuk mengkaji isu-isu terkait moderasi beragama di Aceh dan Indonesia. Unit ini berada di bawah Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh.

Pembentukan Seuramoe Moderasi Beragama STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh ditandai dengan Webinar sesi 9 “Moderasi Beragama dan Tantangan di Era Disrupsi.” Webinar ini menghadirkan tiga pemateri sekaligus, yaitu Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Amany Lubis, Antropolog sekaligus dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria dan Ketua STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Inayatillah.

Ketua Seuramoe Moderasi Beragama STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, M. Ikhwan mengatakan, keberadaan unit kajian moderasi beragama sesuai dengan instruksi pemerintah dalam rencana strategis Kementerian Agama.

Ia menyampaikan, Seuramoe Moderasi Beragama STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh nantinya akan fokus pada kajian-kajian terkait moderasi beragama melalui pendekatan kearifan lokal. Selain kajian dan pembinaan, unit ini nantinya juga akan menghasilkan penelitian-penelitian tentang moderasi.

“Sehingga nantinya dapat dijadikan rujukan dalam penyelesaian masalah-masalah yang mucul dalam masyarakat,” ujar M. Ikhwan saat memandu Webinar.

Ketua STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Inayatillah menyampaikan, selaku lembaga pendidikan tinggi Islam, STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh harus berperan sebagai “menara air” yang mengaliri setiap hikmah bagi masyarakat.

“Pada akhirnya, menjadi center of excellence bagi pembangunan dan perbaikan umat,” kata Inayatillah saat menyampaikan materi tentang Posisi Milenial dalam Moderasi Beragama.
Menurutnya, sebagai agent social of change dan harapan umat, mahasiswa selaku generasi muda harus disiapkan dengan sebaik mungkin, terutama dari segi pengetahuan berbangsa, bernegara dan beragama.

Inayatillah mengatakan, milenial sebagai generasi yang sangat dekat perangkat teknologi harus mendapatkan pembinaan secara serius dalam penanaman nilai-nilai moderasi beragama. Terlebih di tengah-tengah gempuran informasi seperti saat ini.

Ia berpandangan, langkah pertama untuk menanamkan nilai-nilai moderasi dapat dilakukan melalui pendidikan dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan yang ditumbuhkan dalam keluarga akan membentuk karakter milenial yang moderat.

Kemudian lembaga pendidikan, dalam hal ini dapat dilakukan melaui penguatan kurikulum Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan dan lainnya. Selain itu juga harus didukung dengan kemampuan tenaga pendidik dalam menanamkan paradigma moderasi kepada mahasiswa.

Inayatillah melanjutkan, dari segi pemerintah, selain melalui aturan-aturan, nilai-nilai moderasi beragama harus diaktualisasikan lewat sikap bernegara, beragama dan berbangsa oleh pejabat pemerintah, sehingga menjadi teladan bagi milenial.

“Dengan adanya pendidikan dan pembinaan yang baik, maka akan melahirkan milenial-milenial dengan karakter moderat yang mampu membawa peubahan di tengah-tengah masyarakat,” jelasnya.

Moderasi dalam Konteks Aceh Antropolog sekaligus dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria yang memaparkan materi tentang Moderasi Beragama dalam Konteks Aceh menjelaskan, moderasi beragama yang dipromosikan pemerintah saat ini merupakan satu konsep tidak hanya ditujukan bagi umat Islam saja, namun untuk semua pemeluk agama.

Menurutnya, sebagai sebuah konsep, jika merujuk kepda ilmu sosial, berbanding lurus dengan peradaban Barat. Bahkan jika ditelisik lebih jauh, sangat berkaitan dengan orang Barat menilai peradabannya dan problem-problemnya sendiri.

“Jika hari ini, berbicara mengenai moderasi beragama seakan ditujukan bagi Islam dan muslim, sebenarnya konsepnya sendiri berasal dari Barat,” jelas Reza.

Reza menyampaikan, meski begitu, dalam Islam sendiri para ilmuwan sangat sering menyerukan kembali konsep washatiyah. Konsep umatan wasatan, umat yang berada di tengah.
“Namun tengah yang seperti apa? ini menjadi suatu kajian dan proyek kita bersama,” katanya.

Reza berpendapat, adegium yang mengatakan Aceh adalah Islam akan menjadi modal orang Aceh. Dalam artian, dengan menjadi Aceh, maka menjadi muslim toleran, menawarkan konsep harmonis, tawazun (seimbang) dan tabayun dalam mendengarkan berita.

“Konsep itu sudah ada dalam Islam, namun proyek kita ke depan bagaimana kita membahasakan dengan bahasa yang lebih dekat dengan bahasa kita sehari-hari,” terangnya.

Menurutnya, ketika berbicara moderasi beragama di Aceh, tidak bisa dilepaskan dari stereotype yang berkembang di Indonesia dalam cara melihat Aceh. Selain itu, informasi yang dikembangkan secara global di media nasional dan internasional, Aceh diproyeksikan sebagai daerah yang fanatik dan radikal.

“Ini sebenarnya tidak baru, karena terkait dengan peradaban Barat ketika mereka bertemu dengan Aceh (di masa lalu-red), yang tidak mau tunduk. Sehingga mereka melabelkan orang Aceh itu sebagai fanatik dan radikal, sebagaimana terdapat di dalam catatatn kolonial yang dapat kita akses hingga hari ini,” ujarnya.

Reza menambahkan, ketika berbicara washatiyah, maka akan ada penengah yang memiliki kewenangan menjadi pengadil, menjadi orang yang menegakkan hukum.

Menurutnya, Aceh memiiki banyak aturan, mulai dari surat edaran hingga qanun, namun aturan-aturan tersebut tidak ditegakkan. Padahal semestinya negara berperan sebagai penegak hukum.

Sementara itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Amany Lubis mengatakan, moderasi beragama tidak hanya milik Kementerian Agama, namun telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yang mengahruskan prinsip moderasi beragama dijalankan oleh semua pihak.

Amany menjelaskan, moderasi beragama yang sudah diadopsi oleh pemerintah bukan moderasi agama. Menurutnya, moderasi agama, di tengah-tengah saja, mencampur adukkan agama dan budaya.

“Bukan seperti itu, ini moderasi beragama. Kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia bukan hanya agama Islam. Islam punya prinsip washatiyatul, dengan cara-cara yang terbuka, keadilan, toleransi dan rahmatan lilalamin,” papar Amany dalam materinya, Moderasi Beragama Antitesis Radikalisme.

Webinar yang diselenggarakan P3M Bersama Unit Pelaksana Teknis Teknologi, Informasi dan Pankalan Data (UPT-TIPD) STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh melalui aplikasi zoom itu, diikuti seratusan peserta dari berbagai kalangan di Indonesia.[]

Leave a comment